A. Pengertian Tauhid
Ilmu Tauhid adalah :
عِلْمُ
االتَّوْحِيْدِ عِلْمٌ يُقْتَدَرُ عَلَى اِثْبَاتِ الْعَقَائِدِ الدِّيْنِيَّةِ
مِنْ أَدِلَّتِهَا الْيَقِيْنِيَّةِ
Artinya : Suatu ilmu yang karenanya ada kemampuan untuk
mengokohkan ‘aqidah-‘aqidah agama dengan dalil-dalilnya yang pasti.
Ilmu ini disebut dengan Ilmu Tauhid karena di dalamnya
membahas tentang keesaan Allah dan pembuktiannya. Kadangkala ilmu tauhid juga
disebut ilmu Usuluddin, karena di dalamnya dijelaskan pokok-pokok keyakinan
dalam agama Islam. Ilmu ini juga
dinamakan Ilmu Kalam, karena di dalamnya menjelaskan dan membuktikan keesaan
Tuhan itu memerlukan pembicaraan yang benar.
Dengan mengetahui dan mengamalkan ilmu Tauhid kita akan
memperkuat aqidah Islam secara ideal, yang mana akidah merupakan ajaran tentang
keimanan terhadap keesaan Allah swt, dengan keyakinan penuh yang dibenarkan
oleh hati, diucapkan oleh lidah dan diwujudkan
oleh amal perbuatan.
B. Pentingnya Belajar Ilmu Tauhid
Ilmu Tauhid adalah ilmu yang wajib
dipelajari bagi setiap Muslim. Sebab ilmu ini menyangkut ‘aqidah yang berkaitan
dengan Islam. Sedangkan ‘aqidah merupakan pondasi bagi keberagamaan seseorang
dan benteng yang kokoh untuk memelihara ‘aqidah Muslim dari setiap ancaman
keraguan dan kesesatan.
Kita seringkali mendengar terjadinya
berbagai penyimpangan dalam berpikir, berkata, dan bertindak. Hal itu terjadi
karena jauhnya pemahaman yang benar tentang dasar-dasar ‘aqidah Islam dan
masalah-masalah keimanan.
Prinsip-prinsip aqidah dalam Islam dan
masalah-masalah keimanan adalah ajaran yang dibawa oleh para rasul sejak dulu.
Sebagaimana diterangkan dalam firrman Allah swt dalam surat al-Anbiya’ ayat 25,
yang artinya : Dan Kami tidak mengutus seorang rasulpun sebelum kamu melainkan
Kami wahyukan kepadanya: “Bahwasanya tidak ada Tuhan (yang sebenarnya)
melainkan Aku, maka sembahlah olehmu sekalian akan Aku.
Amal baik yang dilakukan oleh seseorang
dengan penuh keikhlasan hanya akan diterima oleh Allah swt, apabila didasari
dengan aqidah Islam yang benar yang menjadi bahasan ilmu Tauhid ini. Karena
penyimpangan terhadap aqidah yang benar berarti bentuk penyimpangan dari
keimanan yang murni kepada Allah swt dan hal itu merupakan bentuk kekufuran
kepada Allah swt. Maka berapapun amal baik yang dilakukan oleh seseorang, bila
ia tidak beriman kepadanya, maka Allah tidak akan menerimanya. Allah swt
berfirman dalam surat al-Baqarah ayat 217 yang artinya:
“Barangsiapa yang
murtad di antara kamu dari agamanya, lalu Dia mati dalam kekafiran, Maka mereka
Itulah yang sia-sia amalannya di dunia dan di akhirat, dan mereka Itulah
penghuni neraka, mereka kekal di dalamnya”.
C. Aliran-Aliran dalam Aqidah Islam
Dalam sejarah Islam, para ulama sering
berbeda pendapat tentang masalah agama, baik yang menyangkut masalah syariah
ataupun aqidah. Perbedaan pendapat dan pemikiran tersebut menimbulkan
perdebatan-perdebatan, bahkan sentimen dan permusuhan, sehingga muncullah berbagai
macam golongan atau Madzhab (aliran). Para pakar Islam mengklasifikasikan
madzhab tersebut pada 4 (empat) kelompok, yaitu kelompok Jabariyah, kelompok
Qadariyah, kelompok Mu’tazilah, kelompok Asy’ariyah.
Pengklasifikasian ini didasarkan kepada
pemahaman yang bersumber langsung kepada al-Qur’an dan Sunnah, interpretasi
tentang keduanya dan juga pemikiran yang dipengaruhi oleh perkembangan kultur.
a) Golongan Jabariyah, Golongan ini disebut Jabariyah, karena
salah satu pendapatnya bahwa perbuatan baik maupun buruk manusia bukanlah atas
kehendak dirinya akan tetapi karena paksaan (jabar) dari Allah SWT, sehingga
manusia tidak mempunyai kekuasaan sedikit pun untuk memilih dari perbuatan yang
akan dilakukannya. Yang menjadi dasar alasan mereka, antara lain adalah firman
Allah surat Ash-Shaffaat : 96, Al-Hadiid : 22, Al-Anfal : 17; dan At-Taubah :
51. Madzhab ini didirikan oleh Jaham bin Shafwan pada abad ke 2H, yang dikenal
dengan golongan Jahamiah).
b) Gologan Qadariyah, nama golongan ini berdasarkaqn kepada
pengertian bahwa manusia mempunyai qudrat atau kekuasaan, untuk berbuat sesuai
dengan kehendaknya. Golongan ini berpendapat bahwa manusia dijadikan Allah SWT,
diberi potensi untuk berbuat, sedangkan Allah tidak mempunyai pengaruh terhadap
segala perbuatan manusia. Pendapat paham ini mengambil hasil penafsiran dari
firman Allah SWT, surat Al-Kahfi : 29, Arra’du : 11 dan Al-Balad : 10. Madzhab
ini didirikan oleh Ma’had Al-Jauhari di Irak pada akhir abad 1 H.
c) Golongan Mu’tazilah, Golongan ini disebut Mu’tazilah karena
pendirinya memisahkan diri dari gurunya Hasan Al-Bisri, sedangkan mereka
sendiri tidak mau disebut Mu’tazilah dan menyebut dirinya sebagai Ahlul Haq
(penegak kebenaran).
Doktrin Mu’tazilah antara lain:
1) Tentang Dosa Besar
Orang Islam yang mempunyai dosa besar disebut fasiq, mereka
bukan mu’min dan bukan pula kafir baginya mereka tidak akan masuk surga dan
neraka, tetapi menempati tempat tersendiri antara keduanya. (ada yang
berpendapat bahwa mereka disebut mu’tazilah karena pendirian ini).
2) Tentang Qadar.
Allah tidak menjadikan perbuatan makhluk tetapi makhluklah
yang berbuat. Oleh karena itu mereka pantas mendapatkan azab atas dosa-dosanya
dan mereka berhak mendapatkan jasa (keuntungan) dari amal kebaikannaya.
3) Tentang ke-Esaan Allah.
Mereka meniadakan sifat-sifat Allah, yang disebut Tauhid
adalah meniadakan sifat-sifat Allah. Karena apabila Allah itu mempunyai sifat,
maka Allah tidak Esa lagi.
4) Tentang Kemampuan Akal Manusia.
Manusia dengan kemampuan akalnya dapat mengetahui benar dan
salah, baik dan buruk, Walaupun tidak diberitahu oleh syara’.
5) Tentang Janji dan Ancaman.
Allah
akan memenuhi janji-janji-Nya, baik berupa pahala maupun siksa. Bagi orang yang
melakukan dosa besar tidak akan diampuni dosanya kecuali taubat.
d) Golongan Asy’ariyah, Golongan ini merupakan reaksi terhadap
golongan Mu’tazilah. Kadang-kadang golongan ini disebut juga dengan ahlussunnah
waljamaah, karena mereka banyak berpegang kepada tradisi dari Nabi dan para
sahabatnya dengan jumlah pengikut yang banyak. Pendapatnya terhadap ke-Tuhanan
dikemukakan bahwa Allah mempunyai sifat dan nanti di akhirat Allah akan dapat
dilihat. Mengenai perbuatan manusia bahwa manusia tidak hanya dilahirkan oleh
manusia, tetapi tidak lepas dari kekuasaan Allah SWT. Dalam hubungannya dengan
surga dan neraka, Tuhanlah yang akan menentukannya. Bagi muslim yang mempunyai
dosa besar, dia akan mendapat siksa di neraka sesuai dengan dosanya, kemudian
dia masuk ke surga.
Melihat dari keseluruhan konsep
Asy’ariyah ini, madzhab ini mengambil jalan tengah dari konsep Qadariyah dan
Jabariyah. Sedangkan apabila dibandingkan dari golongan-golongan di atas
terdapat :
1) Adanya perbedaan cara pandang terhadap sifat-sifat Allah,
namun semua golongan sama di dalam mengakui ke-Esaan DzatNya.
2) Adanya perbedaan mengenai kekuasaan Allah di dalam
menggerakkan perbuatan manusia, yaitu di dalam kebebasan manusia untuk berbuat,
ketertutupan manusia untuk berbuat dan adanya usaha manusia yang tidak terlepas
dari kekuasaan Allah SWT.
3) Perbedaan mengenai efek dari perbuatan manusia, yang
mempunyai dosa besar akan mengalami siksaan sesuai dengan amalnya, dan ada juga
yang mengemukakan fasiq, mereka akan menempati sesuatu tempat antara surga dan
neraka.
Adanya perbedaan antara golongan tersebut ini tidak terlepas
dari dalil naqli dan dalil aqli serta cara beristimbath (mengeluarkan
hukum) dari keduanya. Namun golongan Ahlussunnah Wal Jama’ah memilih jalan
tengah yaitu tidak terlalu Jabariyah dan tidak terlalu Qadariyah. Ahlussunnah
Wal Jama’ah dalam bidang Tauhid atau Akidah ini mengikuti Imam al-Asy’ari yang disebut dengan golonan Asy’ariyah dan
juga mengikuti Imam Al-Mathuridi karena pemikiran dan cara beristimbathnya
(mengeluarkan hukum) sama. Kedua madzhab ini dianggap tsiqoh (bisa
dipercaya) karena dalil-dalilnya kuat dan sesuai dengan landasan al-Qur’an dan
al-Hadist.
Di Indonesia, khususnya di pesantren-pesantren salaf yang
merupakan basis Ahlusssunnah Wal Jama’ah, pada umumnya menganut madzhab
Asy’ariyah. Hal ini bisa dilihat dari kitab-kitab kajian mereka dalam bidang Tauhid
seperti Kitab Aqidatul Awam, Fathul Majid dan sebagainya, yang berisi tentang
aqoid yang 50 (lima puluh).
DAFTAR
PUSTAKA
Abdusshomad, Muhyiddin. 2009. Aqidah Ahlussunnah Wal Jama’ah. Surabaya:
Khalista.
Ahmadi, Abu dan Salimi, Noor. 2008. Dasar-Dasar Pendidikan Agama
Islam Untuk Perguruan Tinggi, Jakarta: PT.Bumi Aksara.